Jumat, 12 Februari 2016

Sembari ku berhenti sejenak, aku menyempatkan diri untuk kembali menulis sebuah catatan kecil yang sengaja aku tulis untuk membawa ku ke masa lalu. Kata orang, masa lalu itu tidak perlu untuk di ingat karena pahit. Ya, mungkin itu hanya untuk beberapa orang yang mempunyai pengalaman pahit di masa lalu. Dan kebanyakan itu diakibatkan oleh putus cinta. Kata orang juga lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Namun tak semua orang mengatakan itu benar, karena beberapa orang juga memilih untuk sakit hati daripada sakit gigi karena kalau sakit gigi (tukolon orang batak menyebutnya) sudah tak terdefenisikan lagi sakitnya. (…kok jadi curhat?). Okay, balik lagi aku meluruskan tentang apa yang akan saya tulis. Kali ini aku dibawa dimana saya mengenal pensil dan pena pertama kalinya.

Ketika belum sekolah,aku ingin sekali pergi ke sekolah walau belum cukup umur. Aku bermain corat coret dengan jari ku di atas pasir dan menulis di atas daun dengan menggunakan lidi tanpa tahu apa makna dari coretan itu. Namun, aku merasakan aku sangat menikmati sekali. Hari berganti aku pun sangat senang karena umur ku sudah cukup untuk menginjakan kaki di ruangan kelas satu sekolah dasar (SD). Pada saat itu, aku berkenalan dengan sebuah benda yang kurus kerempeng namun begitu seksi karena dia mempunyai warna merah di ujungnya. Dia adalah pensil beserta penghapus di ujungnya. Aku sangat gembira bisa mengenal pensil karena aku bisa latihan corat coret dan latihan menulis yang diajarkan oleh guru ku. Aku senang juga kepada pensil karena aku bisa menghapus jika tulisan ku salah. Itulah kehebatan pensil yang bisa aku kagumi. Dimana dia dan penghapus bisa saling melengkapi satu sama lain.

Tahun demi tahun pun berlalu dimana aku menginjakan kaki di kelas 3 SD. Di kelas ini, ada teman baru. Aku pun berkenalan dengan dia. Dia adalah pena. Di masa ini, guru ku menyarankan aku untuk menggunakan pena sebagai alat tulis. Ntah mengapa… guru menyuruh ku pada waktu itu, ah ya sudahlah biarkan menjadi misteri. Aku berkenalan dengan pena. Si pena ini lebih cantik dari si pensil karena harganya yang amat begitu mahal. Namun, pada waktu itu aku sangat tidak menyukai si pena karena aku tidak bisa menghapus jika tulisan ku salah. Bagaimana dengan si tipex? Ya, dia adalah pasangan si pena. Tapi aku merasa si tipex tidak begitu baik untuk menghapus tulisan ku. Karena si tipex meninggalkan noda putih yang membuat kertas ku menjadi jelek. Seiring berjalannya waktu,  masa-masa ujian semester sekolah pun aku hadapi saperti di sekolah menengah atas (SMA) atau di universitas.  Di dalam ujian tersebut, si pendidik akan memberikan NB di ujung kertas soal ujian (NB : Tidak dianjurkan menggunakan pensil dan tipex. Jika menggunakannya, maka nilai minus). Ketika melihat dan membaca tulisan itu, dalam hati mengatakan OH…TIDAAAKKKK!!! Mengingat hal ini, Aku berpikir bahwa si pena dibuat agar kita lebih berhati-hati untuk mengisi kertas kosong agar menghasilkan suatu tulisan yang indah.

Loh, jadi mengapa pada waktu ujian nasional yang digunakan si pensil? Kok bukan pena?. Ya benar sekali, karena si pensil mengajarkan kita agar kita tidak gagal menghadapi ujian karena ada penghapus jika kita mempunya jawaban yang meragukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, agar dimasa sulit kita bisa saling menguatkan, memotivasi, mengingatkan dan menghibur satu sama lain. Dan pena menggambarkan agar kita lebih berhati-hati untuk menjaga rasa persaudaraan, persahabatan, bahkan menjalani hidup agar kertas kosong terisi ketajaman tinta warna yang indah.


Neili, 13 February 2016.